Home » » Dimensi-Dimensi Kekuasaan Politik

Dimensi-Dimensi Kekuasaan Politik

Written By Laboratorium Ilmu Politik Unsil on Sabtu, 09 Maret 2013 | 8:25 AM

 Oleh : Taufik Nurohman


Berbicara politik tentu saja tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan kekuasaan karena untuk memahami politik itu sendiri dapat dikaji dari pendekatan kekuasaan. Menurut pendekatan ini politik dilihat sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekluasaan. Sehingga ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari hakikat, kedudukan daan penggunaan kekuasaan. Menurut Robson, salah seorang sarjana politik yang mengembangkan pendekatan ini, ilmu politik adalah ilmu yang memusatkan perhatiannya pada perjuangan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, memperngaruhi pihak lain ataupun menentang pelaksanaan kekuasaan.

Menurut Ratnawari dan Dwipayana (2005) dalam Modul Teori Politik, untuk memahami lebih jauh tentang rumusan kekuasaan dapat dilihat dari perdebatan empat kubu utama dalam merumuskan hakekat kekuasaan yakni (1) Kubu pluralis, (2) Kubu pengkritik pluralis, (3) Kubu radikal dan (4) Kubu Realis. Keempat kubu ini adalah pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dimensi-dimensi kekuasaan.


Pendekatan one dimension view of power (Kubu Pluralis)

Persepektif satu dimensi ini menjelaskan sebuah kondisi dimana salah satu kelompok didominasi oleh kelompok yang lain, sehingga kelompok yang didominasi tidak bisa melakukan apapun tanpa ada “perintah” dari kelompok yang mendominasi.

Berkaitan dengan konsep kekuasaan potensial dan aktual, menurut Ratnawati dan Dwipayana (2005), dalam melakukan analisisnya, penganut pliralisme menggunakan behavioralisme yang mempunyai sifat empiris dan observable, sehingga lebih menekankan pada analisa aktor. Metodenya lebih menekankan pada studi tingkah laku (behavior) yang konkret dan dapat diamati dari para aktor dala pembuatan keputusan atas isu-isu kunci atau penting yang melibatkan konflik aktual dan bisa diamati. Para penganut pluralis dalam mengidentifikasi kekuasaan adalah dengan mempelajari proses pembuatan kebijakan karena dalam pendangan ini pembuatan kebijakan merupakan konflik langsung dan bias diamati. Kaum pluralis beranggapan bahwa kepentingan harus dipahami sebagai preferansi, sehingga konflik kepentingan dianggap sebagai konflik preferensi. Dalam melakukan analisa terhadap kekuasaan, factor yang paling penting adalah konflik, dimana ada kompetisi dan ada disharmoni antara aktor yang mempunyai kepentingan yang berlawanan sehingga pengamatan dapat secara lebih mudah dilakukan. Namun keseluruhan pengamatan terhadap objek, diasumsikan dilakukan oleh objek dalam keadaan sadar terhadap konsekuensi-konsekuensi tindakan untuk memperoleh preferensi.

Pendekatan pluralis melihat arena politik sebagai sebuah sistem terbuka dengan kesempatan yang sama dengan semua orang untuk dapat terlibat, bukan hanya berputar disebuah elite saja. Setiap orang akan ikut terlibat dan berpartisipasi dalam proses kebijakan, apabila merasa terkait dengan satu isu dan ingin menyampaikan pendapatnya mengenai isu tersebut.

Jadi dalam pandangan pluralis ini untuk memahami kekuasaan adalah dengan melihat aktor sebagai komponen utama analisisnya. Semakin sering banyak seorang aktor menggunakan sumber-sumber kekuasaan dengan intensitas yang tinggi dalam mempengaruhi keputusan politik guna memperoleh preferensinya maka dapat dikatakan semakin besar pula kekuasaan dari seorang aktor tersebut.


Pendekatan two dimensi of power (Kubu Pengkritik Pluralis)

Pendekatan yang digunakan oleh kubu kedua ini sering disebut pendekatan elit atau pendekatan dua dimensi yang dikemukakan oleh Peter Bachrach dan Morton Baratz. Kubu kedua ini mengkritik kubu pluralis yang melihat kekuasaan dari satu dimensi saja yakni bagaimana seseorang menggunakan sumber-sumber kekuasaannya untuk mempengaruhi kebijakan sesuai dengan preferensinya. Menurut kubu kedua ini kekuasaan tidak hanya dilihat dari bagaimana seseorang menggunakan sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi kebijakan sesuai dengan preferensinya saja melainkan juga dapat dilihat dari dimensi bagaimana seorang elit menggunakan sumber-sumber kekuasaannya untuk menutup atau menghambat isu-isu atau kepentingan-kepentingan lain yang tidak menguntungkan bagi dirinya atau bahkan membahayakan dirinya.

Menurut Ratnawati dan Dwipayana (2005) poin sentral pada pendekatan dari kubu ini adalah bahwa pada tingkat mana seseorang atau kelompok secara sadar atau tidak menciptakan dan memperkokoh hambatan bagi munculnya konflik kebijakan dipermukaan, maka dapat dikatakan bahwa seseorang atau kelompok tersebut mempunyai kekuasaan.  Pendekatan ini menekankan pada kekuasaan dipraktekan atau digunakan dengan membatasi ruang lingkup dari pembuatan keputusan pada isu-isu yang relatif aman bagi mereka yang menggunakan kekuasaan tersebut. Isu politik terpenting dari kubu ini adalah mengidentifikasi isu potensial yang tidak mampu atau terhambat untuk diaktualkan.

Jadi pandangan kubu ini melihat kekuasaan dari dua dimensi yakni dimensi pertama melihat arena sebagai sebuah sistem terbuka dan walaupun distribusi kekuasaan tidak tersebar merata, akan tetapi tidak berpusat pada satu kelompok saja. Dimensi yang kedua adalah sistem ketidakmerataan yang monopolistik diciptakan dan dipertahankan oleh kelas dominator. Elite mempunyai kekuatan dan sumber daya untuk mencegah tindakan politik yang tidak menguntungkan mereka. Elite menentukan agenda untuk mempertahankan dominasinya.


Pendekatan Three dimension of power (Kubu Radikal)

Kubu radikal adalah kubu yang mengkritik pendekatan kubu kedua diatas. Pendekatan kubu radikal ini diungkapkan oleh Steven lukes dalam bukunya Power; A Radical view. Salah satu kritikan yang dikemukakan adalah pada dasarnya pendekatan ini tidak berbeda dengan pendekatan sebelumnya, yakni memfokuskan analisis pada sebuah konflik yang terlihat. Pendekatan ini melihat ketika tidak terjadi konflik, maka sudah terjadi sebuah konsensus atau alokasi sumber daya yang menyebabkan tidak terjadi sebuah konflik. Pendekatan pada kubu radikal ini menerangkan bahwasanya manipulasi dan kewenangan merupakan sebuah bentuk kekuasaan yang tidak perlu melibatkan konflik terbuka.

Menurut Ratnawati dan Dwipayana (2005) lukes tidak sepakat dengan konsepsi konflik aktual sebagai satu satunya bahan analisa sistem politik melainkan juga konflik laten dan potensial. Konflik laten terjadi dimana ketika tidak ada kesesuaian antara kepentingan penguasa dengan kepentingan riil dari mereka yang tidak terlibat dalam pembuatan keputusan. Ia tidak sepakat dengan pendapat yang menyatakan bahwa jika dalam masyarakat tidak ada konflik yang terbuka, maka disana tidak ada fenomena relasi kekuasaan. Menurut Lukes, pihak yang berkuasa mampu membuat pihak yang dikuasai tidak punya kekuatan untuk melakukan konfrontasi dengan cara yang sistemik. Sehingga kubu radikal ini menolak pandangan kaum pluralis yang melihat bahwa kepentingan pribadi adalah subjektif. Menurut Lukes kepentingan individu adalah hasil konstruksi dari adanya kekuasaan pihak lain.

Jadi dalam pandangan kubu radikal ini melihat kekuasaan dari tiga dimensi yakni Dimensi pertama, yaitu kekuasaan, dilihat dari perilaku dalam pengambilan keputusan dari sebuah isu yang terdapat konflik terbuka dari sebuah kepentingan subjektif. Dimensi kedua mencoba menjelaskan bagaimana proses pembuatan keputusan sedapat mungkin berangkat dari isu potensial yang didasarkan pada sebuah konflik terbuka dari sebuah kepentingan subjektif semata sehingga menyingkirkan atau menghambat isu-isu atau kepentingan yang tidak menguntungkan atau bahkan dapat membahayakan dirinya. Dimensi yang ketiga adalah bagaimana kekuasaat tidak hanya dilihat pada kondisi konflik aktual saja melainkan juga dilihat dalam konflik laten dan potensial. Dimana konflik aktual tidak terjadi karena pihak yang berkuasa mampu membuat pihak yang dikuasai tidak punya kekuatan untuk melakukan konfrontasi. Dalam dimensi ketiga ini terdapat sebuah proses bagaimana sebuah kelompok atau individu bukan hanya memperluas kekuasaan dan berusaha meloloskan kepentingan mereka, tetapi juga berusaha mempertahankan hegemoni yang telah dimiliki oleh kelompok atau individu.


Pendekatan Four Dimension of Power (Kubu Realis)

Menurut Ratnawati dan Dwipayana (2005) Kubu realis yang dipelopori oleh Jefrey Isaac dan Ted Benton berpendapat bahwa analisis kekuasaan seharusnya menekankan bukan pada tingkah laku yang teratur melainkan pada hubungan sosial yang membentuk mereka. Analisis kekuasaan bukan pula diletakan pada individu-individu yang diantara mereka belum tentu mempunyai keterikatan, namun ditekankan pada kecenderungan yang sama.

Pendekatan four dimension of power ini menekankan analisa terhadap relasi struktural yang melibatkan lingkungan. Bahwa untuk mencapai tujuan tertentu, diperlukan analisa terhadap aktor lain, karena terdapat relasi saling bergantung diantara banyak aktor. Tujuan-tujuan tersebut terintegrasi dalam kepentingan-kepentingan (real interest) yang berupa nilai, norma dan tujuan-tujuan yang ada dalam praktek sosial. Menurut Benton interest berbeda dengan preferences. Menurutnya keinginan, preferensi, kesenangan atau pilihan belum tentu menjadi interest seseorang. Baginya setiap aktor tidak mampu menjadi otonom. Kalau Lukes pada pendekatan Three dimension of power memahami kekuasaan berdasarkan sudut pandang ontologi dan metodologi individualisme, Benton mendasarkan pada sudut pandang metodologi relasionalisme, dimana individu adalah sebagai bagian dari lingkungan sosial.


Dimensi-Dimensi Kekuasaan

Menurut Surbakti (1992), untuk memahami gejala politik kekuasaan secara tuntas maka kekuasaan dapat ditinjau dari enam dimensi yaitu potensial dan aktual, konsensus dan paksaan, positif dan negatif, jabatan dan pribadi serta implisit dan eksplisit,

Seseorang dikatakan mempunyai kekuasaan potensial apabila dia memiliki sumber-sumber kekuasaan seperti kekayaan, tanah, senjata, pengetahuan dan informasi, popularitas, status sosial yang tinggi, massa yang terorganisir dan jabatan. Sedangkan seseorang dikatakan mempunyai kekuasaan aktual jika dia telah menggunakan sumber-sumber kekuasaan yang dimilikinya kedalam kegiatan politik secara efektif.

Dalam menganalisis hubungan kekuasaan maka harus membedakan kekuasaan yang berdasarkan paksaan dengan kekuasaan yang berdasarkan konsensus. Bagi yang melihat kekuasaan itu berdasarkan aspek paksaan cenderung memandang politik sebagai perjuangan, pertentangan, dominasi dan konflik. Sehingga mereka melihat bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh elit politik tidak menyengkut masyarakat secara keseluruhan melainkan menyangkut kepentingan sekelompok kecil masyarakat. Sementara itu gai yang melihat kekuasaan itu berdasarkan aspek konsensus akan cenderung melihat elit politik sebagai orang yang sedang berupaya menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan masyarakat secara keseluruhan. Perbedaan dimensi ini menyangkut dua hal yaitu alasan penaatan dan sarana kekuasaan yang digunakan. Pada umumnya alasan untuk menaati kekuasaan paksaan berupa rasa takut baik rasa takut akan paksaan fisik seperti dipukul, ditangkat, dibunuh atau dipenjara maupun rasa takut akan paksaan non-fisik seperti kehilangan pekerjaan, dikucilkan atau diintimidasi. sedangkan, alasan untuk menaati kekuasaan konsensus pada umumnya berupa persetujuan secara sadar dari pihak yang dikuasai. Sementara itu, sarana kekuasaan paksaan dapat berupa senjata, pekerjaan atau kesempatan berusaha dan intimidasi. Sedangkan sarana kekuasaan konsensus dapat berupa nilai-nilai kebaikan bersama, moralitas, ajaran agama, keahlian dan popularitas.

Kekuasaan positif adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencapai tujuan yang dipandang penting dan diharuskan. Sedangkan kekuasaan negatif adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencegah pihak lain mencapai tujuannya yang tidak hanya dipandang tidak perlu tetapi juga merugikan pihaknya.

Kekuasaan jabatan adalah kekuasaan yang berasal dari jabatan yang diduduki oleh seseorang. Kekuasaan tersebut melekat erat dengan jabatan tersebut. Artinya jika seseorang sudah tidak menduduki jabatan tersebut maka dia tidak mempunyai kekuasaan itu lagi. Misalnya dalam masyarakat yang sudah maju dan mapan seseorang yang menduduki jabatan tertentu akan mempunyai kekuasaan yang besar tanpa melihat kualitas diri dari orang tersebut. Sedangkan kekuasaan pribadi adalah kekuasaan yang beasal dari kualitas pribadi. Efektifitas kekuasaannya sangat tergantung pada kualitas pribadi seperti kharisma, penampilan diri, ataupun asal-usul keluarga.

Kekuasaan implisit adalah pengaruh yang tidak dapat dilihat tetapi dapat dirasakan. Sedangkan kekuasaan eksplisit adalah pengaruh yang secara jelas terlihat dan terasakan. Sementara itu kekuasaan langsung adalah penggunaan sumber-sumber untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana kebijakan secara langsung tanpa melalui perantara. Sedangkan kekuasaan tidak langsung adalah penggunaan sumber-sumber untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik melalui perantara pihak lain yang diperkirakan mempunyai pengaruh besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan politik.


Referensi:
Maran, Rafael Raga. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Rineka Cipta. Jakarta
Ratnawati dan Dwipayana. 2005. Modul Teori Politik. Program Studi Politik. Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Grasindo. Jakarta


Taufik Nurohman merupakan dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi, Tasikmalaya. Mahasiswa Pascasarjana Politik dan Pemerintahan UGM, Yogyakarta.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang di Situs Labpol Universitas Siliwangi

Foto saya
Tasikmalaya, Jawa Barat, Indonesia
Merupakan salah satu lembaga pengkajian dan pengembangan di bidang Ilmu Politik di lingkungan FISIP Unsil. Situs ini merupakan situs resmi Labpol Unsil. Selamat membaca, semoga bermanfaat. Amin.
 
Support : Unsil | FISIP Unsil | Jurnal Unsil
Copyright © 2013. Situs Resmi Labpol FISIP Universitas Siliwangi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger