Home » » Konsolidasi Birokrasi Pasca Pemilukada

Konsolidasi Birokrasi Pasca Pemilukada

Written By Laboratorium Ilmu Politik Unsil on Selasa, 01 Maret 2011 | 9:51 AM

Oleh:
Rino sundawa Putra
           
Pemilukada Kabupaten Tasikmalaya telah usai, kemenangan sudah diraih oleh salah satu calon. Warga Kabupaten Tasikmalaya patut bersyukur, Karena Pemilukada kali ini tidak menyisakan konflik yang berkepanjangan, walaupun ada pihak-pihak yang merasa tidak puas karena ada dugaan kecurangan, tapi bagi penulis para elit yang bertarung di Kabupaten Tasikmalaya cukup dewasa dalam menyikapi hasil Pemilkukada ini, setidaknya bagi pihak-pihak yang mensinyalir ada dugaan kecurangan lebih memilih mengumpulkan bukti untuk diajukan ke Mahkamah Konsitusi (MK) sebagai upaya yang legal dan dijamin oleh Undang-Undang dalam memutus perkara atau sengketa Pemilukada, ketimbang memobilisasi massa kemudian protes sana-sini yang bukan tidak mungkin akan menimbulkan anarkisme dan resistensi sosial seperti halnya yang terjadi dibanyak daerah. Mekanisme demokrasi prosedural telah terlaksana cukup baik, walaupun secara subtansial penulis masih tetap bertanya-tanya, sejauh mana hasil Pemilukada ini memberikan perubahan yang lebih baik bagi masyarakat Kabupaten Tasikmalaya.Pemilukada memang telah begitu banyak menghabiskan “energi” berbagai pihak, dari mulai Partai politik (DPRD sebagai representasi formal), tim sukses, tokoh masyarakat, media, pengamat politik, akademisi, penulis sampai ke birokrat.

Birokrasi dan Kekuasaan
            
Sudah bukan rahasia lagi bahwa peta-peta atau blok-blok dukungan menjelang Pemilukada terjadi dilingkungan para birokrat. Berbagai faktor yang melatar belakanginya pun beragam dari mulai kepentingan pragmatis, kedekatan, jabatan, atau bahkan karena nalar idealis yang menginginkan harapan perubahan dari salah satu calon. Hadirnya beberapa calon dari mantan birokrat juga menambah “seru” polarisasi birokrasi menjelang Pemilukada di Kabupaten Tasikmalaya.
            
Birokrasi dan politik (kekuasaan) memang menjadi dua sisi yang tidak bisa dipisahkan, saling memberi dan menerima itulah prinsip birokrasi bila sudah diseret-seret ke wilayah politik. Ada konsekuensi logis dimana prinsip “The right man on the right job” tidak pernah digunakan dalam rekruitmen jabatan publik (PNS) bila biokrasi terjebak dalam kubangan politik praktis, yang ada adalah “siapa mendukung siapa”.
           
Sejarah telah membuktikan bagaimana birokrasi merupakan sumber daya politik yang sangat besar, sumber daya yang bisa melanggengkan struktur kekuasaan. Orde Baru, adalah Orde yang paling banyak menggunakan kekuatan birokrasi sebagai pondasi untuk melanggengkan sistem kekuasaan. Pada waktu itu, selain militer bagaimana kemudian Orde Baru melakukan “kuningisasi” pada institusi pelayan masyarakat ini. Pandangan yang terbentuk pada waktu itu adalah, bila dia seorang PNS, bisa dipastikan dia adalah pendukung fanatik Golkar.

Analisa penulis mengenai polarisasi birokrasi menjelang Pemilukada ini diklasifikasikan menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok loyal. Kelompok ini memiliki konsistensi yang tinggi  ketika mendukung seseorang calon, dan cenderung untuk terus menghimpun dan mencari dukungan dari dalam. Kedua, kelompok oportunis. Kelompok ini adalah kelompok yang cenderung ambigu dalam memberikan dukungan, ambiguitas ini dikarenakan selalu menghitung-hitung keuntungan dan kerugian juga mencari keselamatan posisi dan jabatan. Dan kelompok ketiga adalah kelompok birokrat yang lurus, kelompok yang tak pernah memikirkan apa-apa dari hasil Pemilukada, biasanya kelompok ini mempunyai prinsip “kumaha brehna we” atau “kumaha ceuk nu di laluhur” . konsekuensi logis yang paling terasa oleh para birokrat akibat adanya dukung mendukung ini ibarat judi, yang selalu bermain-main dengan kemenangan atau kekalahan. Bagi kelompok birokrat yang calonnya mengalami kekalahan, maka siap-siap untuk tersisih, dimutasi atau karirnya akan terhambat, tapi  kelompok birokrat yang calonnya menang, maka siap-siaplah menduduki jabatan baru atau kenaikan pangkat dan golongan secara instan.

Harmonisasi Birokrasi Pasca Pemilukada
            
Kini, bola itu ada ditangan pemenang Pemilukada. Bekerja atau tidaknya sistem birokrasi daerah ada ditangan Bupati terpilih. Dalam hal ini, bagaimana Bupati terpilih dituntut untuk bersikap objektif dan menanggalkan kalkulasi dukung mendukung dalam tubuh birokrasi  menjelang Pemilukada. Hasrat untuk menyisihkan kelompok yang tidak mendukung dan menyokong kelompok yang kalah harus dibuang jauh-jauh. Resistensi akibat kemenangan dan kekalahan dalam tubuh birokrasi akan menimbulkan dis-harmonisasi para birokrat, dan ini tentu saja akan berakibat pada merosotnya kinerja para pelayan masyarakat ini.

Bupati memang jabatan politik, tetapi dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenang yang mempunyai kapasitas sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan, bupati harus memerankan konsep manajerial yang utuh dalam menata birokrasi agar terjadi harmonisasi dan sinergitas dalam tubuh birokrasi. Birokrasi (dari Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas, Kecamatan hingga Desa) merupakan garda terdepan dan ujung tombak  pemerintah dalam menjalankan program-program pemerintah. Jika terjadi dis-harmonisasi atau resistensi pada tubuh birokrasi akibat ekses Pemilukada yang tidak bisa diredam, maka program-program yang selama ini diusung dalam kampanye seperti gerbang desa, pengentasan kemiskinan dan kesederajatan dalam pelayanan kesehatan mungkin tidak akan tercapai.Menurut Webber (1948), seorang teoritikus klasik konsep-konsep birokrasi, bahwa birokrasi merupakan hirarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan anggota organisasi didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara individu, membantu mengarahkan hubungan intra personal di antara anggota organisasi guna menyelesaikan tugas-tugas organisasi. Dapat disimpulkan bahwa legalitas dengan menggunakan legitimasi peran kekuasaan sangatlah penting sebagai pemegang kunci berjalannya sistem birokrasi. Bila pucuk pimpinan yang memengang kendali kekuasaan tidak menggunakan konsep manajerial yang objektif berdasarkan kemampuan-kemampuan individu dan cenderung mengendalikan birokrasi dengan frame politis, maka sistem birokrasi tidak akan berjalan pada poros yang semestinya.

Webber juga mengemukakan mengenai patologi (penyakit) birokasi yang menekankan pada adanya dominasi kekuasaan yang berlebihan dalam  menjalankan sistem birokrasi (penyalahgunaan wewenang). Artinya, bila pucuk pimpinan tertinggi (Bupati) dalam birokrasi menggunakan pendekatan kekuasaan yang membabi buta dalam mengatur birokrasi, mengatur perangkat-perangkat, jabatan, fungsi dan kewenangan berdasarkan kalkulasi dalam melanggengkan kekuasaannya daripada melanggengkan pola kerja yang berorientasi terhadap fungsi pelayanan yang optimal, maka birokrasi akan jalan ditempat, karena energinya dihabiskan untuk memikirkan konflik-konflik yang syarat akan kepentingan dalam tubuh birokrasi.

Kita berharap kepada Bupati terpilih agar bisa mengkonsolidasikan dan mengharmonisasikan birokrasi pada rel yang semestinya. Polarisasi dukung-mendukung menjelang Pemilukada kemarin harus bisa diakhiri dengan hasrat kepemimpinan yang dewasa yang semata-mata berorientasi pada kerja dan kinerja yang prima dari para abdi negara ini.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang di Situs Labpol Universitas Siliwangi

Foto saya
Tasikmalaya, Jawa Barat, Indonesia
Merupakan salah satu lembaga pengkajian dan pengembangan di bidang Ilmu Politik di lingkungan FISIP Unsil. Situs ini merupakan situs resmi Labpol Unsil. Selamat membaca, semoga bermanfaat. Amin.
 
Support : Unsil | FISIP Unsil | Jurnal Unsil
Copyright © 2013. Situs Resmi Labpol FISIP Universitas Siliwangi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger