Oleh : Taufik Nurohman
Berbicara politik tentu saja tidak dapat
dipisahkan dari pembicaraan kekuasaan karena untuk memahami politik itu
sendiri dapat dikaji dari pendekatan kekuasaan. Menurut pendekatan ini
politik dilihat sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekluasaan.
Sehingga ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari hakikat, kedudukan
daan penggunaan kekuasaan. Menurut Robson, salah seorang sarjana politik
yang mengembangkan pendekatan ini, ilmu politik adalah ilmu yang
memusatkan perhatiannya pada perjuangan untuk memperoleh dan
mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, memperngaruhi pihak
lain ataupun menentang pelaksanaan kekuasaan.
Menurut Ratnawari dan Dwipayana (2005) dalam Modul Teori Politik, untuk memahami lebih jauh tentang rumusan kekuasaan dapat dilihat dari perdebatan empat kubu utama dalam merumuskan hakekat kekuasaan yakni (1) Kubu pluralis, (2) Kubu pengkritik pluralis, (3) Kubu radikal dan (4) Kubu Realis. Keempat kubu ini adalah pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dimensi-dimensi kekuasaan.
Pendekatan one dimension view of power (Kubu Pluralis)
Persepektif satu dimensi ini menjelaskan
sebuah kondisi dimana salah satu kelompok didominasi oleh kelompok yang
lain, sehingga kelompok yang didominasi tidak bisa melakukan apapun
tanpa ada “perintah” dari kelompok yang mendominasi.
Berkaitan dengan konsep kekuasaan
potensial dan aktual, menurut Ratnawati dan Dwipayana (2005), dalam
melakukan analisisnya, penganut pliralisme menggunakan behavioralisme
yang mempunyai sifat empiris dan observable, sehingga lebih menekankan
pada analisa aktor. Metodenya lebih menekankan pada studi tingkah laku
(behavior) yang konkret dan dapat diamati dari para aktor dala pembuatan
keputusan atas isu-isu kunci atau penting yang melibatkan konflik
aktual dan bisa diamati. Para penganut pluralis dalam mengidentifikasi
kekuasaan adalah dengan mempelajari proses pembuatan kebijakan karena
dalam pendangan ini pembuatan kebijakan merupakan konflik langsung dan
bias diamati. Kaum pluralis beranggapan bahwa kepentingan harus dipahami
sebagai preferansi, sehingga konflik kepentingan dianggap sebagai
konflik preferensi. Dalam melakukan analisa terhadap kekuasaan, factor
yang paling penting adalah konflik, dimana ada kompetisi dan ada
disharmoni antara aktor yang mempunyai kepentingan yang berlawanan
sehingga pengamatan dapat secara lebih mudah dilakukan. Namun
keseluruhan pengamatan terhadap objek, diasumsikan dilakukan oleh objek
dalam keadaan sadar terhadap konsekuensi-konsekuensi tindakan untuk
memperoleh preferensi.
Pendekatan pluralis melihat arena politik
sebagai sebuah sistem terbuka dengan kesempatan yang sama dengan semua
orang untuk dapat terlibat, bukan hanya berputar disebuah elite saja.
Setiap orang akan ikut terlibat dan berpartisipasi dalam proses
kebijakan, apabila merasa terkait dengan satu isu dan ingin menyampaikan
pendapatnya mengenai isu tersebut.
Jadi dalam pandangan pluralis ini untuk
memahami kekuasaan adalah dengan melihat aktor sebagai komponen utama
analisisnya. Semakin sering banyak seorang aktor menggunakan
sumber-sumber kekuasaan dengan intensitas yang tinggi dalam mempengaruhi
keputusan politik guna memperoleh preferensinya maka dapat dikatakan
semakin besar pula kekuasaan dari seorang aktor tersebut.
Pendekatan two dimensi of power (Kubu Pengkritik Pluralis)
Pendekatan yang digunakan oleh kubu kedua
ini sering disebut pendekatan elit atau pendekatan dua dimensi yang
dikemukakan oleh Peter Bachrach dan Morton Baratz. Kubu kedua ini
mengkritik kubu pluralis yang melihat kekuasaan dari satu dimensi saja
yakni bagaimana seseorang menggunakan sumber-sumber kekuasaannya untuk
mempengaruhi kebijakan sesuai dengan preferensinya. Menurut kubu kedua
ini kekuasaan tidak hanya dilihat dari bagaimana seseorang menggunakan
sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi kebijakan sesuai dengan
preferensinya saja melainkan juga dapat dilihat dari dimensi bagaimana
seorang elit menggunakan sumber-sumber kekuasaannya untuk menutup atau
menghambat isu-isu atau kepentingan-kepentingan lain yang tidak
menguntungkan bagi dirinya atau bahkan membahayakan dirinya.
Menurut Ratnawati dan Dwipayana (2005)
poin sentral pada pendekatan dari kubu ini adalah bahwa pada tingkat
mana seseorang atau kelompok secara sadar atau tidak menciptakan dan
memperkokoh hambatan bagi munculnya konflik kebijakan dipermukaan, maka
dapat dikatakan bahwa seseorang atau kelompok tersebut mempunyai
kekuasaan. Pendekatan ini menekankan pada kekuasaan dipraktekan atau
digunakan dengan membatasi ruang lingkup dari pembuatan keputusan pada
isu-isu yang relatif aman bagi mereka yang menggunakan kekuasaan
tersebut. Isu politik terpenting dari kubu ini adalah mengidentifikasi
isu potensial yang tidak mampu atau terhambat untuk diaktualkan.
Jadi pandangan kubu ini melihat kekuasaan
dari dua dimensi yakni dimensi pertama melihat arena sebagai sebuah
sistem terbuka dan walaupun distribusi kekuasaan tidak tersebar merata,
akan tetapi tidak berpusat pada satu kelompok saja. Dimensi yang kedua
adalah sistem ketidakmerataan yang monopolistik diciptakan dan
dipertahankan oleh kelas dominator. Elite mempunyai kekuatan dan sumber
daya untuk mencegah tindakan politik yang tidak menguntungkan mereka.
Elite menentukan agenda untuk mempertahankan dominasinya.
Pendekatan Three dimension of power (Kubu Radikal)
Kubu radikal adalah kubu yang mengkritik
pendekatan kubu kedua diatas. Pendekatan kubu radikal ini diungkapkan
oleh Steven lukes dalam bukunya Power; A Radical view. Salah satu
kritikan yang dikemukakan adalah pada dasarnya pendekatan ini tidak
berbeda dengan pendekatan sebelumnya, yakni memfokuskan analisis pada
sebuah konflik yang terlihat. Pendekatan ini melihat ketika tidak
terjadi konflik, maka sudah terjadi sebuah konsensus atau alokasi sumber
daya yang menyebabkan tidak terjadi sebuah konflik. Pendekatan pada
kubu radikal ini menerangkan bahwasanya manipulasi dan kewenangan
merupakan sebuah bentuk kekuasaan yang tidak perlu melibatkan konflik
terbuka.
Menurut Ratnawati dan Dwipayana (2005)
lukes tidak sepakat dengan konsepsi konflik aktual sebagai satu satunya
bahan analisa sistem politik melainkan juga konflik laten dan potensial.
Konflik laten terjadi dimana ketika tidak ada kesesuaian antara
kepentingan penguasa dengan kepentingan riil dari mereka yang tidak
terlibat dalam pembuatan keputusan. Ia tidak sepakat dengan pendapat
yang menyatakan bahwa jika dalam masyarakat tidak ada konflik yang
terbuka, maka disana tidak ada fenomena relasi kekuasaan. Menurut Lukes,
pihak yang berkuasa mampu membuat pihak yang dikuasai tidak punya
kekuatan untuk melakukan konfrontasi dengan cara yang sistemik. Sehingga
kubu radikal ini menolak pandangan kaum pluralis yang melihat bahwa
kepentingan pribadi adalah subjektif. Menurut Lukes kepentingan individu
adalah hasil konstruksi dari adanya kekuasaan pihak lain.
Jadi dalam pandangan kubu radikal ini
melihat kekuasaan dari tiga dimensi yakni Dimensi pertama, yaitu
kekuasaan, dilihat dari perilaku dalam pengambilan keputusan dari sebuah
isu yang terdapat konflik terbuka dari sebuah kepentingan
subjektif. Dimensi kedua mencoba menjelaskan bagaimana proses pembuatan
keputusan sedapat mungkin berangkat dari isu potensial yang didasarkan
pada sebuah konflik terbuka dari sebuah kepentingan subjektif semata
sehingga menyingkirkan atau menghambat isu-isu atau kepentingan yang
tidak menguntungkan atau bahkan dapat membahayakan dirinya. Dimensi yang
ketiga adalah bagaimana kekuasaat tidak hanya dilihat pada kondisi
konflik aktual saja melainkan juga dilihat dalam konflik laten dan
potensial. Dimana konflik aktual tidak terjadi karena pihak yang
berkuasa mampu membuat pihak yang dikuasai tidak punya kekuatan untuk
melakukan konfrontasi. Dalam dimensi ketiga ini terdapat sebuah proses
bagaimana sebuah kelompok atau individu bukan hanya memperluas kekuasaan
dan berusaha meloloskan kepentingan mereka, tetapi juga berusaha
mempertahankan hegemoni yang telah dimiliki oleh kelompok atau individu.
Pendekatan Four Dimension of Power (Kubu Realis)
Menurut Ratnawati dan Dwipayana (2005)
Kubu realis yang dipelopori oleh Jefrey Isaac dan Ted Benton berpendapat
bahwa analisis kekuasaan seharusnya menekankan bukan pada tingkah laku
yang teratur melainkan pada hubungan sosial yang membentuk mereka.
Analisis kekuasaan bukan pula diletakan pada individu-individu yang
diantara mereka belum tentu mempunyai keterikatan, namun ditekankan pada
kecenderungan yang sama.
Pendekatan four dimension of power ini
menekankan analisa terhadap relasi struktural yang melibatkan
lingkungan. Bahwa untuk mencapai tujuan tertentu, diperlukan analisa
terhadap aktor lain, karena terdapat relasi saling bergantung diantara
banyak aktor. Tujuan-tujuan tersebut terintegrasi dalam
kepentingan-kepentingan (real interest) yang berupa nilai, norma dan tujuan-tujuan yang ada dalam praktek sosial. Menurut Benton interest berbeda dengan preferences. Menurutnya keinginan, preferensi, kesenangan atau pilihan belum tentu menjadi interest seseorang. Baginya setiap aktor tidak mampu menjadi otonom. Kalau Lukes pada pendekatan Three dimension of power
memahami kekuasaan berdasarkan sudut pandang ontologi dan metodologi
individualisme, Benton mendasarkan pada sudut pandang metodologi
relasionalisme, dimana individu adalah sebagai bagian dari lingkungan
sosial.
Dimensi-Dimensi Kekuasaan
Menurut Surbakti (1992), untuk memahami
gejala politik kekuasaan secara tuntas maka kekuasaan dapat ditinjau
dari enam dimensi yaitu potensial dan aktual, konsensus dan paksaan,
positif dan negatif, jabatan dan pribadi serta implisit dan eksplisit,
Seseorang dikatakan mempunyai kekuasaan
potensial apabila dia memiliki sumber-sumber kekuasaan seperti kekayaan,
tanah, senjata, pengetahuan dan informasi, popularitas, status sosial
yang tinggi, massa yang terorganisir dan jabatan. Sedangkan seseorang
dikatakan mempunyai kekuasaan aktual jika dia telah menggunakan
sumber-sumber kekuasaan yang dimilikinya kedalam kegiatan politik secara
efektif.
Dalam menganalisis hubungan kekuasaan
maka harus membedakan kekuasaan yang berdasarkan paksaan dengan
kekuasaan yang berdasarkan konsensus. Bagi yang melihat kekuasaan itu
berdasarkan aspek paksaan cenderung memandang politik sebagai
perjuangan, pertentangan, dominasi dan konflik. Sehingga mereka melihat
bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh elit politik tidak menyengkut
masyarakat secara keseluruhan melainkan menyangkut kepentingan
sekelompok kecil masyarakat. Sementara itu gai yang melihat kekuasaan
itu berdasarkan aspek konsensus akan cenderung melihat elit politik
sebagai orang yang sedang berupaya menggunakan kekuasaan untuk mencapai
tujuan masyarakat secara keseluruhan. Perbedaan dimensi ini menyangkut
dua hal yaitu alasan penaatan dan sarana kekuasaan yang digunakan. Pada
umumnya alasan untuk menaati kekuasaan paksaan berupa rasa takut baik
rasa takut akan paksaan fisik seperti dipukul, ditangkat, dibunuh atau
dipenjara maupun rasa takut akan paksaan non-fisik seperti kehilangan
pekerjaan, dikucilkan atau diintimidasi. sedangkan, alasan untuk menaati
kekuasaan konsensus pada umumnya berupa persetujuan secara sadar dari
pihak yang dikuasai. Sementara itu, sarana kekuasaan paksaan dapat
berupa senjata, pekerjaan atau kesempatan berusaha dan intimidasi.
Sedangkan sarana kekuasaan konsensus dapat berupa nilai-nilai kebaikan
bersama, moralitas, ajaran agama, keahlian dan popularitas.
Kekuasaan positif adalah penggunaan
sumber-sumber kekuasaan untuk mencapai tujuan yang dipandang penting dan
diharuskan. Sedangkan kekuasaan negatif adalah penggunaan sumber-sumber
kekuasaan untuk mencegah pihak lain mencapai tujuannya yang tidak hanya
dipandang tidak perlu tetapi juga merugikan pihaknya.
Kekuasaan jabatan adalah kekuasaan yang
berasal dari jabatan yang diduduki oleh seseorang. Kekuasaan tersebut
melekat erat dengan jabatan tersebut. Artinya jika seseorang sudah tidak
menduduki jabatan tersebut maka dia tidak mempunyai kekuasaan itu lagi.
Misalnya dalam masyarakat yang sudah maju dan mapan seseorang yang
menduduki jabatan tertentu akan mempunyai kekuasaan yang besar tanpa
melihat kualitas diri dari orang tersebut. Sedangkan kekuasaan pribadi
adalah kekuasaan yang beasal dari kualitas pribadi. Efektifitas
kekuasaannya sangat tergantung pada kualitas pribadi seperti kharisma,
penampilan diri, ataupun asal-usul keluarga.
Kekuasaan implisit adalah pengaruh yang
tidak dapat dilihat tetapi dapat dirasakan. Sedangkan kekuasaan
eksplisit adalah pengaruh yang secara jelas terlihat dan terasakan.
Sementara itu kekuasaan langsung adalah penggunaan sumber-sumber untuk
mempengaruhi pembuat dan pelaksana kebijakan secara langsung tanpa
melalui perantara. Sedangkan kekuasaan tidak langsung adalah penggunaan
sumber-sumber untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik
melalui perantara pihak lain yang diperkirakan mempunyai pengaruh besar
terhadap pembuat dan pelaksana keputusan politik.
Referensi:
Maran, Rafael Raga. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Rineka Cipta. Jakarta
Ratnawati dan Dwipayana. 2005. Modul Teori Politik. Program Studi Politik. Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Grasindo. Jakarta
Taufik Nurohman merupakan
dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi, Tasikmalaya. Mahasiswa
Pascasarjana Politik dan Pemerintahan UGM, Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar