Oleh:
Rino Sundawa Putra
Setelah mencermati perkembangan pemberitaan media yang begitu gencar tentang polemik pemberian izin usaha karaoke, akhirnya pemerintah pun buka suara tentang persoalan ini. Di awali oleh pernyataan Wali Kota yang menegaskan bahwa setiap pengunjung yang datang berpasangan ke tempat karaoke wajib membawa surat nikah. Kemudian disusul dengan pernyataan Kepala Badan Perizinan Terpadu (BPPT) tentang empat butir syarat yang harus dipenuhi pengelola karaoke. Tidak hanya itu, bola salju karaoke ini terus menggelinding, sejumlah pihak ikut merespon, ada yang beraudensi dengan Dewan bahkan sejumlah ormas Islam mempertanyakan kredibilitas MUI sebagai lembaga formal representasi dari perwakilan Ulama.
Terlepas dari itu semua, nasi sudah menjadi bubur dan bola sudah menggelinding. Tetapi bukan sebuah hal mustahil bagi pemerintah yang mempunyai otoritas tertinggi sebagai pembuat kebijakan untuk mau mengevaluasi dan merevisi kebijakan yang telah diambil sebelumnnya. Pertanyaannya adalah, dasar apakah yang harus dijadikan sandaran dalam melakukan evaluasi dan revisi? Yang harus menjadi batu pijakan dalam melakukan evaluasi dan revisi adalah amanah kota Tasikmalaya itu sendiri, amanah yang mengemban cita-cita luhur untuk terus merawat nilai-nilai Islami, sehingga julukan kota santri masih layak disematkan, bukan dari apa yang telah “diteriakan” berbagai kelompok yang mengkritisi kebijakan itu, karena ketulusan dalam mengemban amanah ini harus datang dari lubuk hati yang paling dalam dan relung nurani yang paling peka, bukan karena “teriakan”, kritikan dan tuntutan. Artinya ketika berbicara tentang bagaimana merawat nilai-nilai Islami dan religiusitas masyarakat kota Tasikmalaya, jelas ini sangat berkaitan dengan pertanyaan sejauh mana kepatuhan pemerintah dan masyarakat akan ketentuan-ketentuan yang tersurat dan tersirat dalam Al-Quran, karena Al-Quran adalah pedoman yang menjadi indikator sejauh mana nilai-nilai Islami itu dijalankan. Merawat nilai-nilai Islam yang menjadi frame pembangunan di kota Tasikmalaya, tentunya ini akan berkaitan dengan sejauh mana individu-individu yang secara sosial akan menjadi kekuatan kolektif yang menggambarkan religius atau tidaknya masyarakat kota Tasikmalaya, tergantung dari kepatuhan dalam melaksanakan Al-Quran dan Sunnah.
Mencari Fatwa Teologis Menyanyi
Karaoke jelas erat kaitannya dengan aktifitas menyanyi dan musik, dan menyanyi dalam hukum positif di Indonesia jelas bukanlah kegiatan yang dilarang karena memang menyanyi dianggap tidak terdapat unsur-unsur pelanggaran yang dapat merugikan, bahkan dalam hukum positif, menyanyi tidak dianggap sebagai sarana yang punya kecenderungan mendekatkan pada kegiatan pornografi dan pornoaksi, untuk itulah kenapa beberapa penyanyi yang selalu mengeksploitasi tubuhnya lewat tarian-tarian erotis dengan busana terbuka saat bernyanyi ketika tampil dilayar kaca atau pada setiap hajatan-hajatan resepsi pernikahan tidak pernah mendapatkan sanksi. Tetapi Islam sebagai agama yang universal yang mengatur semua pola kehidupan manusia memberikan gambaran tentang musik dan aktifitas menyanyi ini baik itu dalam Al-Quran dan Sunnah yang kemudian menjadi sumber tafsir yang diterjemahkan secara berlainan.
Terdapat perbedaan dari Ulama-Ulama tentang penafsiran yang diambil dari apa yang tersirat dan tersurat dalam Al-Quran dan Sunnah tentang Haram atau tidaknya aktifitas bernyanyi. Beberapa Ulama seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’I, Imam Ahmad, Abu Thayyib Ath-Thabari, Umar bin Abdul Azis dan Ulama besar dan ahli hadist Al-Ajurri memfatwakan haramnya nyanyian. Ulama-ulama tersebut menggunakan beberapa dalil dari Al-Quran dan Sunnah yang kemudian mereka tafsirkan sebagai ketegasan Islam dalam mengharamkan nyanyian. Pertama, dari firman Alloh SWT dalam surat Al-Isra “Dan, hasunglah siapa yang kamu sanggupi diantara mereka dengan suaramu.” (Al-Isra : 64). Para ahli tafsir mengatakan bahwa kata suara disini adalah nyanyian. Kemudian firman Alloh SWT dalam surat Luqman yang berbunyi “Dan, diantara manusia (ada) yang menggunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Alloh tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Alloh itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat dikedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih.” (Luqman: 6-7). Kalimat “perkataan yang tidak berguna” dalam surat tersebut juga ditafsirkan sebagai nyanyian. Dan firman Alloh dalam surat Al-An`am yang berbunyi, “Dan, tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia.” (Al-An`am: 70). Kata “senda gurau” dalam surat tersebut oleh beberapa Ulama diatas juga ditafsirkan sebagai nyanyian.
Tidak hanya dari Firman Alloh, para ulama tersebut juga menggunakan Hadist sebagaimana dalam Sabda Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi “Sungguh pasti akan ada beberapa golongan di antara umatku yang menghalkan perzinaan, sutera, khamar dan alat-alat musik.” (HR. Bukhari). Keyakinan para ulama ini akan haramnya nyanyian juga ditegaskan dalam sabda Nabi “Seseungguhnya aku dilarang akan dua suara yang begitu bodoh dan hanyut dalam kemaksiatan: suara ketika ada nikmat dan suara ketika ada musibah.” (HR Al-Hakim dan Baihaqi). Haramnya nyanyian juga dipertegas dengan adanya ijma (konsensus/kesepakatan) sejumlah ulama seperti Al-Laits bin Sa’ad, ulama-ulama mesir dan ulama-ulama Kufah, Hammad, Abu Ubaid, Ishaq bin Rahawaih, An-Nakha’I, ijma tersebut menyimpukan bahwa dalam nyanyian dan musik terdapat unsur-unsur melalaikan hati seseorang dari agamanya (syariat), menyekutukan Alloh dengan cinta-cinta (dunia) kepada selainNya.
Tetapi tidak semua ulama mengharamkan nyanyian berdasarkan tafsirnya dari apa yang telah tersurat dalam Al-Quran, seperti halnya Ibnu Hazm yang membolehkan menyanyi. Persoalan fatwa adalah persoalan tafsir dan memberikan dalil dalam setiap permasalahan merupakan bagian dari dinamika yang terjadi dalam dunia Islam sebagai bagian ijtihad dalam memecahkan sebuah persoalan. Ulama-ulama dari kalangan moderat seperti halnya yang menjadi mainstream Islam di Indonesia, tentu menganggap aktifitas menyanyi tidak masuk kategori sesuatu yang diharamkan. Penulis kemudian mencari jalan tengah dari dua perbedaan fatwa ulama tersebut, artinya penulis tidak mengharamkan nyanyian sepanjang lirik dalam nyanyian tersebut tidak mengandung makna menyekutukan keyakinan kepada Alloh SWT dan berkonotasi negatif, seperti halnya lirik-lirik yang mengagung-agungkan cinta berlebihan terhadap lawan jenis, menjelek-jelakan, lirik yang mengandung makna kekerasan bahkan lirik-lirik yang mengumbar syahwat yang mengantarkan pikiran si pendengar pada hal-hal asusila sebagai sarana menuju kemaksiatan. Bila adanya justifikasi haram pada semua nyanyian, apakah lagu-lagu yang bertemakan religi seperti lagu-lagu Opik yang begitu banyak mengagungkan nama Alloh, keimanan dan ketaqwaan juga dikategorikan haram, atau misalkan lagu-lagu Iwan Falls yang selalu lantang meneriakan tentang sisi kemanusiaan, kepedulian dan ketidakadilan juga dikategorikan haram.
Yang penting, dari perbedaan fatwa dalam mengkategorikan haram atau tidaknya menyanyi, apalagi dalam konteks ini dibangun sebuah sarana khusus bernyanyi (karaoke), pemerintah kota Tasikmalaya bisa mengkajinya dalam ranah teologis, karena sebagai kota yang mengemban amanah Kota santri yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islami, mau tidak mau landasan teologis ini yang diambil dari Al-Quran sebagai pedoman utama umat Islam harus dijadikan referensi utama ketimbang pendekatan peningkatan PAD atau masalah pariwisata. Fatwa ulama yang berbeda-beda seperti halnya yang penulis paparkan, harus dijadikan sebagai bahan kajian bilamana pemerintah akan dengan tulus merevisi kebijakannya tentang izin usaha karaoke.
Komitmen pemerintah untuk membuat aturan tegas bahwa setiap karaoke yang beroperasi di Tasikmalaya tidak boleh memainkan lagu-lagu yang berlirik menyekutukan keyakinan kepada Alloh SWT dan berkonotasi negatif, seperti halnya lirik-lirik yang mengagung-agungkan cinta berlebihan terhadap lawan jenis, menjelek-jelakan, lirik yang mengandung makna kekerasan bahkan lirik-lirik yang mengumbar syahwat dalam list pemutar lagu, adalah sebuah jalan tengah dari fatwa-fatwa ulama itu.
Dimuat pada kolom Wacana Harian Radar Tasikmalaya edisi Rabu 18 Mei 2011
Penulis adalah Dosen dan Ketua Penerbitan Jurnal Politik dan Pemerintahan Fisip-Unsil
0 komentar:
Posting Komentar