PANGGUNG politik nasional kembali di sibukan dan dikuras energinya tentang persoalan yang tidak subtansial. Pagi hari, siang hari, sore hari bahkan malam hari sebuah media televisi nasional tampak begitu “asyik” mendiskusikan wacana reshuffle beberapa Menteri dalam Kabinet Pemerintahan Koalisi Indonesia Bersatu Jilid dua. Beberapa politisi dari tiga partai politik yang menjadi episentrum koalisi (Demokrat, Golkar, PKS) mengumbar argumen dari pandangan masing-masing yang kemudian mengkerucut pada tema besar perdebatan, Koalisi dan Oposisi. Penulis mulai menemui titik jenuh ketika setiap hari menyaksikan diskusi dan perdebatan tentang wacana reshuffle, jenuh karena diskusi dan perdebatan tersebut tidak pernah menyentuh persoalan pokok yang dihadapi oleh rakyat sekarang ini, yang ada hanya diskusi dan perdebatan mengenai komposisi kekuasaan yang akan dibongkar pasang, pertanyaannya adalah, apakah ada korelasi riil antara bongkar pasang Menteri dengan akselerasi kinerja pemerintah dalam menyelesaikan persoalan bangsa?
Apa sebetulnya kaitannya antara beberapa politisi dari beberapa partai yang mengusulkan angket pajak di DPR dengan posisi Menteri, apakah SBY dan Demokrat sebagai pemegang legitimasi terbesar karena memiliki suara mayoritas dalam Pemilu menganggap suara-suara kritis di parlemen sebagai kelompok (Partai) yang mempunyai potensi ancaman dalam merongrong kekuasaan, bukankan dalam oposisi juga perlu adanya chek and balance. Anggota koalisi tidak semestinya menjadi kekuatan yang mau dicocok hidungnya. Terlepas dari kalkulasi politik,, bargaining politik sesama anggota koalisi mutlak diperlukan, apalagi bagi Golkar sebagai kekuatan terbesar kedua setelah Demokrat, tetapi bargaining tersebut harus menggunakan prinsip yang bersifat korektif yang murni berdasarkan kemauan dalam membenahi kebijakan yang menguntungkan rakyat, bukan bargaining pragmatis yang berprinsip pada logika kekuasaan “siapa mendapat apa”. Tetapi sejauh ini penulis cukup skeptis, bahwa proses bargaining anggota koalisi pasca isu reshuffle ini lebih didasarkan pada logika kekuasaan, ada keengganan dan tawar menawar supaya Menteri-Menterinya tetap bertahan, dan inilah yang kemudian membuat alotnya keputusan reshuffle oleh presiden SBY.
Dalam konteks ini apa sebetulnya makna koalisi dalam sebuah kekuasaan yang dibangun, apakah makna koalisi hanya sebatas alat “pengamanan” atau “bodyguard” untuk memperkokoh kekuasaan yang dibangun, atau koalisi dimaknai sebagai sarana menghimpun kekuatan dalam pilar demokrasi sebagai sarana dalam menyelesaikan persoalan bangsa?. Ketika gagalnya angket mafia pajak yang digadang beberapa politisi dari partai anggota koalisi, Golkar dan PKS menjadi atau dijadikan indikator untuk mememetakan mana sebetulnya partai yang “loyal” dalam frame koalisi dimana Sekertariat Gabungan yang menjadi formulasinya, dan mana partai angggota koalisi yang merongrong kekuasaan, maka nalar logis dari logika kekuasaan akan berbicara, artinya hukum kekuasaan yang menyatakan “siapa mendapat apa” masih menjadi pijakan kuat. Wajarkah berbicara logika politik dalam ruang politik formal negara?. Jawabannya sangat wajar-wajar selama itu tidak menjadi konsentrasi para elite sehingga membiaskan tugas, fungsi dan tujuan yang sebenarnya, tugas dan fungsi yang terkonsentrasi untuk betul-betul bekerja menguras tenaga dan pikiran dalam menghadapi persoalan bangsa yang ada dalam Kementrian masing-masing. Bila makna oposisi dipahami sebagai orientasi kekuasaan daripada orientasi pada tugas, fungsi dan tujuan maka negara ini dibangun bukan berdasarkan niat baik untuk mau mengabdikan diri sebagai agen perubahan bangsa, melainkan semata-mata hanya ingin menjadi bagian segelintir elite penguasa yang diberi segala fasilitas oleh negara.
Sebetulnya, sudut pandang kita bila ingin memahami sistem ketatanegaraan secara holistik, makna koalisi dan oposisi jangan dianggap sebagai dua alat yang terpisahkan oleh jurang definisi yang berbeda dimana koalisi sebagai bagian dari pemerintah dan oposisi sebagai kelompok “pembantah” diluar pemerintah, tetapi koalisi dan oposisi harus dimaknai sebagai satu mekanisme alat dalam sistem ketatanegaraan yang sama-sama bekerja untuk kepentingan bangsa. Artinya alangkah tidak “elok” (mengutip istilah para politisi senayan) bila wacana, diskusi bahkan perdebatan mengenai reshuffle ini begitu menguras energi elite dan publik. Koalisi dan oposisi tidak ada artinya sama sekali untuk rakyat bila bila kedua alat ini tidak betul-betul bekerja dengan penuh ketulusan untuk memperbaiki kehidupan bangsa, dan tidak pernah menyentuh ujung subtansi sama sekali bila para elite politik terus-terusan “ribut” memperebutkan sepotong “kue” kekuasaan yang harus dibagikan.
Bisa dibayangkan ketika para elite politik sedang sibuk mempersoalkan posisi menteri, disisi lain sebagian besar rakyat kita berjibaku dengan persoalan-persoalan hidup yang semakin lama semakin sulit, apa yang kemudian bisa dibayangkan oleh rakyat adalah kelompok elite politik yang tidak pernah peka terhadap persoalan yang dihadapi oleh rakyatnya, dan dititik itulah pemerintah sebetulnya sudah kehilangan legitimasinya karena sudah kehilangan kepercayaan dari rakyat. Untuk itulah, elite politik harus segera mengakhiri polemik ini, kembalilah dan konsentrasilah pada persoalan-persoalan rakyat yang sesungguhnya, persoalan kemiskinan, kesenjangan ekonomi dan sosial, masalah kenaikan bahan pangan, distribusi BBM, pendidikan, persoalan hukum, susu berbakteri, masalah transportasi dan segudang persoalan rakyat yang rill yang masih menanti untuk diselesaikan, dan media tentunya punya posisi sentral dalam menggiring isu-isu tersebut, bila media terus-terusan menggulirkan isu atau berita polemik reshuffle, secara tidak langsung media juga ikut andil dalam mengesampingkan isu-isu persoalan rakyat yang sesungguhnya. Dominasi informasi yang diberikan oleh media bila tidak punya pengaruh apa-apa terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka media tersebut sudah mengingkari jati dirinya sebagai pilar keempat demokrasi.
Rakyat sudah berada dalam titik jenuh ketika harus dipaksa melihat dagelan politik yang ujung-ujungnya hanya bargaining pragmatis dan bagi-bagi kekuasaan. Kasus Century sudah secara gamblang menjelaskan bahwa hukum hanya menjadi “mainan” dan “alat’ untuk berebut posisi. DPR sudah terlanjur menelanjangi dirinya sendiri sebagai lembaga politik vulgar yang menjadi arena pertarungan politik dalam memperebutkan kekuasaan, dan arena ini sudah secara gamblang dipertontonkan secara live oleh media.
Marilah kita sudahi polemik yang tidak berarti apa-apa ini bagi rakyat. Elit-elit politik, Pemerintah, Partai koalisi, Partai oposisi dan media harus menghentikan ini, dan kembali kembali kepada persoalan rakyat.
0 komentar:
Posting Komentar