Home » » Dasar Pemikiran dan Renstra Lab Pol Universitas Siliwangi

Dasar Pemikiran dan Renstra Lab Pol Universitas Siliwangi

Written By Laboratorium Ilmu Politik Unsil on Rabu, 23 Februari 2011 | 1:27 PM

LABORATORIUM POLITIK :
Dialektika Menuju Ilmu Politik yang Antroposentris

A. NAMA :
Laboratorium Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi

B. DASAR PEMIKIRAN

B.1. Pengantar
Dalam kehidupan dunia ini, muncul dan tenggelamnya suatu eksistensi adalah sunatullah. Suatu negara beserta rezim politiknya muncul, kemudian berkuasa dan hancur. Begitupun dengan kemegahan dan superioritas sebuah bangsa pada akhirnya digantikan oleh peradaban bangsa lain. Fakta bangsa-bangsa besar di dunia yang kemudian terpuruk semisal megahnya peradaban bangsa Yunani dan Romawi Kuno, Mesir Kuno, Cina Kuno, dan Persia. Bangsa-bangsa penakluk di masa Sebelum Masehi sampai permulaan Masehi tersebut pada akhirnya hancur. Dominasi kekuasaan dan peradaban Islam kemudian mendominasi dunia di awal abad ke-8 sampai di penghujung abad ke-17 lewat rezim Mu’awiyah, Abbasyiah, Mughal, Safawi dan Turki Osmani (Turkey Ottoman). Secara berturut-turut rezim tersebut menguasai dunia sampai kemudian akhirnya dihancurkan agresi bangsa Mongol ke dunia Islam.  
Bangsa-bangsa Barat yang sebelumnya selalu tersubordinasi, kemudian bangkit di awal abad ke-17, di Inggris muncul semangat baru yang disebut enlightment, di Jerman dikenal aufklarung, di Prancis dikenal renaissance yang menyiratkan semangat bangkit dari keterpurukan. Semangat ini terbukti memompa bangsa-bangsa ini menjadi bangsa dominan bahkan penakluk di dunia. Kekuatan mereka tidak hanya pada bidang militer, tetapi juga industri dan ilmu pengetahuan. Revolusi industri yang mereka gembar-gemborkan akhirnya membawa zaman dunia kepada modernisasi ekonomi yang bebas (pasar bebas).
Liberalisasi ekonomi semakin menjadi-jadi lewat munculnya “raksasa” baru dunia di wilayah Amerika sebelah utara. Sejak awal abad ke-19 sampai pasca Perang Dunia II, Amerika Serikat muncul sebagai salah satu pioner negara demokrasi modern yang mengusung liberalisasi ekonomi atau globalisasi. Dominasinya semakin menggila ketika saingan terkuatnya Uni Soviet hancur di penghujung abad ke-19. Tentunya kalau kita berpedoman pada sunatullah yang dijelaskan di atas, kekuasaan Amerika Serikat pun tidak akan abadi. Kegelisahan dan ketidakpuasan akan zaman ini muncul begitu kencang, tidak hanya dari negara Dunia Ketiga, namun juga di dalam negeri mereka sendiri[1]. Bahkan tanda-tanda kehancuran Amerika pun sudah menjadi bahan kajian yang menarik para ilmuwan dari mulai segi ekonomi, resistensi Dunia Ketiga dan demokrasi sepihak yang dikembangkannya. Disisi lain negara-negara Dunia Ketiga pun semakin menggeliat dan mulai menjelma menyaingi Amerika sebagai raksasa dunia baru saat ini, semisal Cina dan terutama juga India[2].

B.2. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Sebagai penguasa dunia, Amerika Serikat dan Uni Eropa tentunya mendominasi penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Banyak ilmu baru mulai berkembang dan mendapatkan kegairahannya di masa ini. Walaupun akar-akar filsafatnya sudah muncul di masa Yunani Kuno, namun pengembangan besar-besaran dengan penemuan yang spektakuler terjadi di masa ini. Hampir semua ranah kehidupan di dunia ini tercakup dalam kajian ilmiah. Ilmu pengetahuan terbukti mampu mempermudah aktivitas manusia. Eksistensi ilmu pengetahuan pun dipatenkan dan dibentuk lembaga perkumpulan ilmuwan dunia. Lembaga tersebut secara berkala memberikan penganugerahan pencapaian aplikasi ilmu dalam kehidupan. Contohnya semisal penganugerahan Nobel dunia bagi yang berjasa di bidang ilmu pengetahuan.
Sampai saat itu muncullah beratus-ratus disiplin dari cabang keilmuan yang berkembang di Barat dengan diikuti oleh negara-negara berkembang dari mulai Kedokteraran, Matematika, Fisika, Kimia, Geografi, Ekonomi, Sosiologi, Antropologi, Psikologi, Administrasi Negara dan keilmuan lainnya yang menyusul kemudian. Ilmu-ilmu tersebut sebenarnya semua bersumber dari filsafat. Dalam filsafat kita mengenal salah satu cabang kajian yakni epistemologi. Dalam epistemologi[3] ada dua mainstream aliran yang nantinya justru melahirkan pemilahan seperti eksakta dan non eksakta. Pertama, idealisme (rasionalism) yang lebih menekankan akal dalam pencapaian kebenaran, idea sebagai sumber ilmu pengetahuan, peran panca indra dinomorduakan. Aliran kedua adalah realism atau empirisme yang lebih menekankan panca indra sebagai sumber kebenaran, sedangkan peran akal dinomorduakan. Dalam sejarah filsafat, Plato (427-347) dan Aristoletels (384-322) merupakan cikal bakal dialektika kedua aliran tersebut.


B.3. Perkembangan Kajian Politik sebagai Ilmu
Sebenarnya Ilmu Politik diakui dunia dan dilembagakan sebagai cabang keilmuan relatif masih baru dibandingan pendahuluanya yang berdekatan rumpun semisal Sosiologi, Ekonomi dan Psikologi. Namun akar-akar kajian Ilmu Politik bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan bisa dikatakan politik merupakan kajian yang paling tua, setua munculnya kehidupan sosial manusia. Sejarah kajian-kajian ilmu politik juga banyak berdasar dari ilmuwan-ilmuwan yang pernah muncul sejak munculnya masa Pencerahan sampai saat ini. Kajian-kajian tersebut di antaranya : 

Kajian Filsafat Politik
Kajian ini muncul berdasar bahwa pada hakikatnya manusia tidak bisa lepas dari politik itu sendiri. Plato dan Aristoteles menyebut istilah politik untuk menggambarkan negara kota (polis) di Yunani Kuno dan hasrat manusia untuk selalu berpolitik (zoon politicon). Filosof-filosof di masa Sebelum Masehi yang lain juga banyak yang menyebut istilah politik dalam karya-karyanya semisal Epicurus dan Socrates. Di masa Masehi juga ilmuwan semisal GWF Hegel dan Al-Farabi yang mengkaji politik lebih kental dengan nuansa kajian filsafat politik. Kajian filsafat politik juga mengkaji berbagai paradigma yang nantinya menjadi main-stream dalam metodologi politik seperti melahirkan pendekatan interpretis, konstruktivis, normatifisme atau positivisme, institusionalisme, teori kritik dan rational choice.

 Kajian Kekuasaan
Niccolo Machiavelli, Karl Marx, Dante Aliegeri, Al-Mawardi, Ibnu Khaldun dan sederet ilmuwan politik lainnya mulai mengkaji politik dalam sistem dan institusi pemerintahan yang concern dengan kekuasaan seorang pemimpin dengan gaya filsafat yang bermacam-macam. Ciri khas pemikiran politik di masa ini lebih cenderung mengkaji politik prosedural dalam pemerintahan di masa mereka masing-masing. Pengertian politik kemudian lebih pada cara mendapatkan, mempertahankan dan menjalankan kekuasaan.

Kajian Demokrasi
Perkembangan kajian Ilmu Politik tidak bisa dilepaskan dari trend kajian ilmuwan politik Barat, terutama Amerika Serikat. Di akhir abad ke-18 trend kajian politik mulai gencar membidik demokrasi sebagai sistem politik. Sebenarnya istilah ini sudah ada dari Yunani Kuno pada abad ke-5 SM, terdiri dari demos yang berarti rakyat, dan kratos atau cratein yang berarti pemerintahan. Secara umum demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Abraham Lincoln).
Seiring dengan perkembangan wacana yang menyertainya, istilah demokrasi telah berubah sejalan dengan waktu, di mana berkembang berbagai definisi modern tentang demokrasi khususnya sejak abad ke-19, bersamaan dengan perkembangan demokrasi dalam sistem politik di banyak negara. namun pemakaian konsep ini di zaman modern dimulai sejak terjadinya pergolakan revolusioner dalam masyarakat Barat pada akhir abad ke-18 yakni Revolusi Perancis dan Revolusi Kemerdekaan di AS. Ilmuwannya yang terkenal John Locke, Montesque dan JJ. Rossouw di masa klasik. Sedangkan di tahun 1940-an muncul Joseph Scumpeter (1942) yang melihat definisi demokrasi lebih pada praktek-praktek politik prosedural di Amerika dan Eropa, di tahun 1970-an muncul ilmuwan pelanjut Scumpeterian semisal Di Palma, Robert Dahl, Przeworski, Samuel P Huntington, sampai dengan ilmuwan transitologis Diamond, Linz dan Lipset[4]. Sebelumnya tahun 1964 model Scumpeterian gaya baru juga muncul lewat kajian tentang birokrasi Indonesia yang menjadi teori besar sebagai model jaring-jaring kekuasaan birokrasi di negara-negara berkembang dari Harold Crouch dan Harri J. Benda yang dikenal sebagai politik patronase (neo-patrimonialism).

Kajian Life Politics
Di tahun 1960-an, muncul tandingan sekaligus kritikan kajian demokrasi yang terlalu prosedural dari kalangan pemikir politik demokrasi substantivist. Menurut aliran ini demokrasi tidak akan efektif dan lestari tanpa adanya substansi demokrasi, berupa; jiwa, kultur atau ideologi demokratis yang mewarnai pengorganisasian internal partai politik, lembaga-lembaga pemerintahan, serta perkumpulan-perkumpulan kemasyarakatan. Demokrasi akan terwujud apabila rakyat bersepakat mengenai makna demokrasi, paham dengan bekerjanya demokrasi dan kegunaan demokrasi bagi kehidupan mereka.
Berawal dari adanya substansi demokrasi inilah kemudian berkembang pemikiran yang meletakan demokrasi tidak hanya dari sisi prosedural namun lebih dalam lagi seperti pada cara pandang, sikap dan perilaku masyarakat. Tokohnya semisal Almound dan Verba (1963)[5], Habermas dengan masyarakat komunikatifnya. Mulai saat itu kajian-kajian ilmu politik yang mengkaji politik kehidupan mulai bermunculan, terutama dikembangkan oleh para ilmuwan post-strukturalis dan disusul oleh posmodernisme semisal kajian habitus politik dari Bourdieu, politik dekontruksi dari Derrida, geneanologi kekuasaan model Foucault, soft power dari Robert Nie Jr dan Gayatri Spivak serta Homi Baba dengan cultural studiesnya, gender dan politik dari Naomi Wolf.

 Sistem dan Institusi Pemerintahan
Selanjutnya kajian demokrasi sebagai kajian penting politik kemudian digunakan para ilmuwan untuk melihat sistem dan institusi pemerintahan dan perilaku rezim politik di dunia. Kajian kemudian bergeser pada demokratisasi politik. Di tahun 1984 muncul kajian struktur dan agen (aktor politik) dari Anthoni Giddens (strukturasi Giddens)[6]. Studi demokratisasi berkembang pesat mulai tahun 1980-an sampai sekarang. Bahkan awal tahun 1990-an, studi demokratisasi terfokus pada transisi yang disusul dengan studi konsolidasi demokrasi yang terlihat dalam karya suntingan O ‘Donnel dan Philipe Schmitter (1986); Larry Diamond, Juan linz, dan Lipset (1990); Guiseppe di Palma (1990), dan Samuel Huntington (1991). Secara garis besar tipikal pemikiran masa ini menganggap bahwa konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen seluruh elemen masyarakat dalam aturan demokrasi, sebuah proses panjang yang mengurangi erosi demokrasi, keruntuhan demokrasi. Menurut kelompok ini demokrasi terkonsolidasi apabila aktor-aktor politik, partai, kelompok kepentingan dalam masyarakat menganggap tindakan demokratis sebagai alternatif utama dalam meraih kekuasaan dan tidak ada aktor/kelompok yg mempunyai klaim veto dlm tindakan pembuatan keputusan. Selain itu juga konsolidasi tidak hanya proses politik dalam level prosedural  dan lembaga-lembaga politik tetapi juga dalam level masyarakat. 

Kajian Negara dan Masyarakat
Selain demokrasi, studi hubungan Negara dan Masyarakat sipil juga menjadi kajian dalam disiplin Ilmu Politik yang akar-akarnya dapat ditelusuri sejak zaman Romawi ada yang disebut konsep civic virtue, kemudian Cicero menggunakan societas civilis untuk menyebut negara, bahkan ketika JJ. Rousseau menggunakan istilah societies civile, ia memahaminya sebagai negara yang menjamin hak milik, kehidupan dan kebebasan rakyatnya. Gelombang selanjutnya civil society dipahami sebagai sesuatu yang terpisah dari negara, hal ini disebabkan mulai menguatnya negara dan banyaknya dominasi negara atas rakyat, sehingga cenderung berkembang pemahaman keduanya sering dipertentangkan (vis a vis), walaupun saat itu belum terlalu gencar. Hal dapat dilacak salah satunya dari ilmuwan Adam Fergusson dalam bukunya An Essay on the History of Civil Society yang memahami civil society sebagai alternatif penting dalam menyeimbangkan dominasi negara. Gelombang penguatan negara atas civil society dipahami GWF. Hegel yang diperkuat Marx lewat civil society tidak bisa dibiarkan tanpa terkontrol, civil society justru memerlukan seperangkat aturan serta pembatasan-pembatasan lewat kontrol hukum, administratif dan politik oleh negara supaya tidak menimbulkan anarkisme.
Pemahaman seperti  di atas sekonyong-konyong menimbulkan reaksi keras dari pemikir kontemporer semisal Alexis De Tocqueville yang menempatkan unsur kemandirian dan pluralitas dan tanpa ada pembatasan dari negara[7], karena pada hakikatnya negara merupakan organ yang asal muasalnya dari rakyat. Pemahaman tersebut saat ini marak dan cenderung menempatkan civil society sebebas-bebasnya dan sebagai kajian netral  tidak seperti dipahami Hegel yang terikat oleh sejumlah aturan. Kedua aliran ini pada kenyataannya terus berkembang sebagai kubu bahkan sampai  zaman modern saat ini. Aliran Hegelian juga cenderung dilanjutkan lewat pemikirannya Philippe Scimitter (1995), Laurence Whitehead (2004) dan lainnya. Sedangkan Aliran Tocquevellian cenderung terepresentasi dalam karya-karya Neera Chandoke (2003) dan Gurpreet Mahajan (2003). 

Gerakan Sosial 
Di tahun 1997 penelitian fenomenal dari Hanspieter Kriesi tentang gerakan sosial menambah literatur baru dalam sub kajian ilmu politik khususnya gerakan sosial. Kemudian dilanjutkan Tilly & Castañeda di tahun yang sama dengan konsepnya tentang model contentious politics dalam gerakan sosial. Gerakan sosial termasuk di dalamnya melihat berbagai gejala dan desakan kelompok masyarakat baik terhadap sistem negara, maupun sistem sosial yang menindas. 

Governance dan Studi Kebijakan
Governance bisa dikatakan cara pandang baru mengelola negara, ekonomi dan masyarakat, yang berbeda dengan cara pandang government. Maka ada pergeseran dari cara pandang “government” menuju “governance”. Proses interaksi antara negara/pemerintah (sektor kesatu), pasar/swasta (sektor kedua) dan masyarakat sipil (sektor ketiga). Governance merupakan jembatan antara ilmu politik (yang mengkaji kekuasaan dan mempunyai tujuan demokrasi) dan administrasi publik (yang mengkaji proses kebijakan dengan pendekatan teknokratis).
Dari uraian di atas, sub-sub kajian ilmu politik meliputi tiga kajian besar[8] yakni : (1) filsafat politik dan metodologi, (2) kajian negara (politik prosedural) dan (3) politik kehidupan (politics). Diantara tiga kajian besar tersebut di dalamnya meliputi studi pemikiran politik, skup dan metodologi politik, partai politik, pemilu dan legislasi, demokrasi, teori elit, kajian birokrasi, partisipasi politik, gender dan politik, gerakan sosial, politik identitas dan multikulturalisme, governance dan studi kebijakan, kajian kekuasaan, konflik politik, politik intermediary (Ormas, LSM, gerakan mahasiswa dan lainnya), perilaku politik, politik keamanan dan pembangunan, negara dan masyarakat, studi budaya politik, politik lokal dan otonomi daerah, agama dan politik, pemasaran politik, dan politik internasional. Khusus untuk politik internasional saat ini studinya lebih cenderung pada kajian disiplin ilmu yang masih serumpun yakni hubungan internasional. Dari sub-sub kajian tersebut, aplikasi dalam pengkajian materinya di setiap negara disesuaikan dengan kondisi politik masing-masing yang termanifest dalam kebijakan negara tersebut dan ditambah dengan kajian local contain yang menunjang.

B.4. Lembaga Pengembang Ilmu Politik
Politik sendiri di Amerika Serikat diakui sebagai ilmu pengetahuan di awal abad ke-19 dengan mulai dikajinya Ilmu Politik di universitas terkemuka di Amerika, kemudian meluas di Inggris dan Prancis. Kemudian terbentuk Asosiasi Ilmu Politik Amerika (APSA) yang secara rutin melakukan konferensi dan mengundang ilmuwan seluruh dunia. Terbaru APSA melakukan konferensinya di tahun 1980-an yang salah satu keputusannya membahas kajian-kajian dalam ilmu politik. Esensi-esensi APSA tersebut yang sebagian besar saat ini diadopsi oleh negara-negara dunia dalam memformat kajian ilmu politik, termasuk Indonesia. Walaupun masih banyak dipertanyakan secara metodologis yang dianggap pinjam sana, pinjam sini, tetapi harus diakui Ilmu Politik saat ini menjadi salah satu disiplin kajian yang ilmiah dan sexies di hampir seluruh negara belahan dunia.
Ilmu Politik di tahun 1900-an mulai menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri Ilmu Politik mulai mendapat tempat seperti di Universitas Gadjah Mada di bidang kajian Ilmu Pemerintahan dan Universitas Indonesia di bidang Ilmu Politik. Selain itu juga di Universitas Airlangga, Padjadjaran, Diponegoro, Andalas. Universitas Jenderal Soedirman juga membuka jurusan Ilmu Politik di tahun 2000, Universitas Samratulangi, Universitas Udayana dan universitas negeri serta swasta lainnya yang juga bermunculan kemudian. Memang dibandingkan disiplin keilmuan lainnya Ilmu Politik relatif masih jarang ada di universitas-universitas di Indonesia[9].
Selain melakukan pembelajaran dan riset oleh jurusan atau program studi, setiap jurusan atau program studi membentuk laboratorium untuk melakukan kajian-kajian mendalam di bidang Ilmu Politik dan usulan pengembangan ke depannya. Selain di universitas-universitas, hampir di semua lembaga pengkajian, baik negeri maupun swasta memasukkan kajian politik dalam departemennya, semisal LIPI, LP3ES, CSIS dan lainnya. Lebih menggembirakan lagi di Indonesia sudah ada Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) yang merupakan wadah para sarjana ilmu politik dalam mengkaji berbagai studi politik dan pengembangannya. Di tahun 2005 Universitas Siliwangi mendirikan jurusan ilmu politik pertama di Priangan Timur. Ke depan Ilmu Politik Universitas Siliwangi menjadi sentrum kajian politik di Jawa Barat khususnya di bidang politik lokal dan politik identitas.

B.5. Laboratorium Politik : Menuju Ilmu Politik yang Antroposentris
Ilmuwan politik GWF Hegel[10] membuat sebuah siklus yang pada awalnya dikontekskan pada pergulatan idea. Siklus tersebut dinamakan dialektika. Dialektika meliputi thesa, anti thesa dan sinthesa. Selama manusia ada, pergulatan (dialectica) tersebut terus akan berlanjut dan tidak akan melahirkan the winner, karena proses akan terus bergulir. Di luar kelemahan konsep tersebut, pelajaran dari Hegel adalah suatu ilmu jelas tidak akan mencapai kesempurnaan, karena konteks untuk saat ini belum tentu ke depan masih berlaku. Begitupun dengan teori dalam ilmu politik, yang relevan saat ini belum tentu masih relevan 10 atau bahkan 50 tahun ke depan. Oleh karena itu, ilmuwan-ilmuwan politik harus terus-menerus menggali kelemahan dan kontekstualisasikan teori-teori yang sudah ada saat ini dengan realitas politik sekitar. Apalagi kajian ilmu politik sangat sensitif dengan realitas yang setiap saat bisa dengan cepat berubah.
Untuk  mencapai semangat di atas, selain dilakukan oleh pengajar dalam penelitian-penelitian dan kajian di kelas, harus ada suatu wahana yang cukup representatif dalam memacu semangat menggali studi yang lebih kreatif dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Ilmu Politik saat ini tidak hanya dipahami berkutat pada kajian policy (objeknya negara), namun juga pada aspek politik kehidupan yang lebih luas (politics) yang saat ini kurang tersentuh dalam kajian. Oleh karena itu, tidak tidak menghilangkan yang sudah ada dengan terus-menerus mengkritisinya, pencarian kajian lain yang termasuk politics perlu di support dan dikembangkan sesuai dengan local-contain Tasikmalaya dan Jawa Barat yang memiliki identitas sebagai kota Santri (politik identitas). Kajian local contain menjadi sangat penting, dikarenakan local-contain lah kehidupan politik nyata saat ini di lingkungan kita. Oleh karena itu tawaran ilmu politik yang anthropocentris dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai ilmu politik yang mampu menyelesaikan kehidupan negara dan masyarakat sehingga tidak cenderung melangit (theocentris). 

B.6. Kluster-Kluster Kajian dan Cakupan Materi
Dari tujuan untuk mencapai Ilmu Politik yang bermanfaat untuk masyarakat luas terutama Tasikmalaya dan sekitarnya dan melahirkan ilmuwan serta civitas akademika yang handal dan aplikatif, kajian-kajian politik yang sangat kompleks seperti disebutkan di atas akan diprioritaskan dalam local-contain Universitas Siliwangi dengan memperhatikan visi dan misi universitas. Dalam dataran praksisnya kajian akan dibuat dalam kluster-kluster tertentu. Setiap kluster akan dipimpin oleh struktur laboratorium lewat divisi-divisi masing-masing. Tiap kluster mengadakan kajian ilmiah mendalam secara intensif yang dikoordinatori oleh ketua divisi. Kluster-kluster tersebut di antaranya :
*        Kluster I : Kajian  Metodologi Politik
Di dalamnya terdiri dari kajian kritis terhadap berbagai akar filsafat dan metodologi dalam memberi sumbangsih terhadap perkembangan ilmu politik ke depannya. Kajian ini penting untuk mengkaji ulang pendekatan-pendekatan dalam Ilmu Politik yang mungkin sudah usang atau tidak kontekstual lagi. Kajian ini misalnya dalam bentuk studi mendalam tentang literatur metodologi dari Amerika dan Eropa atau trend pendekatan lainnya, untuk kemudian dikaji kritis sesuai konteks saat ini. Upaya ini kedepannya diharapkan lebih mengembangkan metode penelitian politik yang lebih canggih dan aplikatif dalam melahirkan riset-riset unggulan untuk  konteks Tasikmalaya.
*        Kluster II : Kajian Politik Lokal dan Kebijakan Publik
Di dalamnya termasuk kajian partai politik, pemilu/pilkada, kebijakan publik dan dinamika politik daerah khas Tasikmalaya lainnya. Seluruh proses dan dinamika politik lokal akan secara intens disoroti dan dikaji secara ilmiah dengan menguji teori yang ada. Hal lain yang dapat dikembangkan melalui kluster ini adalah membangun jaringan dengan pemerintahan daerah, terutama dalam membantu proses perumusan formulasi kebijakan.

*        Kluster III : Life Politics dan Marketing Politik
Di dalamnya mencakup  politik identitas, budaya politik, agama dan politik. Kluster kajian ini bisa dikatakan andalannya kajian di local-contain Tasikmalaya. Sebagai daerah yang memiliki basis pesantren sangat besar, dinamika politik di Tasikmalaya sangat kental diwarnai oleh identitas pesantren. Riset-riset unggulan di di kluster ini diharapkan menjadi rujukan dalam melihat dinamika sosial-politik di Tasikmalaya. Selain itu, bisa menelusuri pola yang terbentuk dalam hubungan agama dengan politik. Bahkan menstimulan riset-riset ilmiah yang berupaya membongkar habitus politik[11] pesantren-pesantren di Tasikmalaya bisa menjadi tawaran menarik, tidak hanya di Jawa Barat, tetapi juga level nasional. Hal ini dikarenakan riset-riset politik sejenis masih sangat jarang di Indonesia. Satu hal lagi yang sedang menemukan kegairahannya saat ini adalah kajian pemasaran politik, semisal fenomena munculnya konsultan politik dan strategi politik dalam pemenangan calon pejabat politik tertentu.

C.  MAKSUD DAN TUJUAN
Laboratorium Ilmu Politik dimaksudkan dan bertujuan sebagai wahana mengkaji secara mendalam dan menghasilkan perbaikan. Laboratorium ilmu politik di FISIP Universitas Siliwangi paling muncul paling tidak karena kebutuhan : pertama, memperkuat basis teori politik, untuk sivitas akademika Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi dengan basis kajian mendalam dan riset politik unggulan. Kedua, memasyarakatkan ilmu politik dan kajian-kajian ilmiahnya dalam bentuk tulian-tulisan berbobot yang bisa bermanfaat langsung baik bagi pengembangan keilmuan, maupun untuk diaplikasikan oleh lembaga atau interest lain yang berkepentingan dengan politik. Ketiga, mengembangkan ilmu politik dengan basis realita local-contain dan membangun konsolidasi antar elemen politik di masyarakat dan negara.

D. PROGRAM KERJA
Dari maksud dan tujuan diatas, diturunkan dalam usulan program kerja laboratorium Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik sebagai berikut :
1.  Diskusi Focus Groups Discussion antar Kluster. Setiap kluster menyusun garis besar kajiannya masing-masing dan mendiskusikannya di kelompok masing-masing untuk disempurnakan kembali lebih tajam dalam Diskusi Dosen. Waktunya fleksibel tergantung kebijakan koordinator divisi masing-masing kluster.
2.    Diskusi Dosen
Diskusi ini akan dilaksanakan minggu pertama setiap dua bulan sekali. Tema-tema yang dibahas dalam diskusi ini akan disusun berdasarkan tiga kluster di atas. Tema-tema tersebut diatas akan dibahas lembali disetiap jadwal diskusi secara bergiliran di antara masing-masing kluster yang sebelumnya sudah dikaji. Pemateri dari masing-masing kluster sebelumnya sudah mempersiapkan hasil diskusi kecilnya (semisal FGD), bahan dapat berupa tulisan makalah biasa, hasil penelitian ataupun pengamatan studi kasus tertentu. Mekanisme diskusinya bersifat cair tidak memakai moderator. Pesertanya semua dosen Prodi Ilmu Politik Universitas Siliwangi. Hasil diskusi ditulis oleh notulensi untuk bahan kajian lanjutan atau publikasi. Diskusi ini pelaksanaannya langsung dikoordinasi oleh ketua Laboratorium Ilmu Politik (laboran).
3.    Diskusi Publik
Diskusi ini akan diadakan 6 bulan sekali, kalau memungkinkan 2 bulan sebelum Jurnal Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi diterbitkan. Materi diskusi publik disesuaikan dengan tema jurnal, sehingga mendapatkan banyak masukan kajian dari berbagai pihak dan kaya akan perspektif. Tema yang dikedepankan dalam ruang lingkup kajian politik terutama terkait dengan local-contain Tasikmalaya. Peserta yang diundang semua unsur masyarakat dan pemerintah. Mekanismenya diskusinya dipimpin moderator dengan menghadirkan pembicara yang kompeten dari berbagai latar belakang yang sesuai materi dan tema diskusi. Diskusi publik ini dalam pelaksanaannya dibentuk kepanitiaan yang diangkat langsung oleh Dekan FISIP Universitas Siliwangi.
4.    Penerbitan Jurnal Aliansi
Jurnal Aliansi ini sebenarnya sudah berjalan dan terbit sebanyak 4 kali, namun selama ini pengelolaannya tidak berada di bawah laboratorium. Dengan adanya laboratorium ini diharapkan hasil-hasil kajian, baik dalam diskusi dosen, maupun diskusi publik bisa meningkatkan kualitas kajian dalam jurnal. Upaya ini sebagai bagian dari proses mencapai akreditasi jurnal ilmiah yang menjadi kebutuhan saat ini. Dalam pelaksanaannya penerbitan jurnal dibentuk dewan redaksi yang merangkap dengan anggora diskusi dosen seperti yang dimaksudkan di atas.
5.    Forum Kajian Mahasiswa
Forum Kajian ini dilaksanakan oleh BEM FISIP Universitas Siliwangi yang masih dalam lingkup laboratorium Ilmu Politik. Waktu dan pelaksanaannya disesuaikan dengan program BEM FISIP.
6.    Training Metodologi Penelitian Politik
Training ini akan dilaksanakan 1 kali dalam setahun. Pesertanya mahasiswa dan staf pengajar di lingkungan civitas akademika FISIP dengan menghadirkan fasilitator dan trainer yang handal dan ahli di bidang metodologi penelitian politik.


E.  SARANA DAN PRASARANA LABORATORIUM
Media yang dibutuhkan secepatnya adalah:
a.      1 ruangan laboratorium itu sendiri sebagai tempat konsolidasi;
b.      Kursi dalam ruangan secukupnya;
c.        3 buah meja;
d.      1 Kipas angin atau penyegar suasana ruangan lainnya;
e.       1 unit komputer dan printer;
f.        Infocus dan layar infocus;
g.       Peta-peta dunia dan gambar-gambar dekorasi lainnya yang diperlukan;
h.       White board, penghapus dan 1 pack spidol dan alat tulis lainnya.

F.  BIAYA
Biaya operasional pelaksanaan program kerja laboratorium dibebankan kepada fakultas dan dana kreatifitas pengurus laboratorium lainnya.

G. PERSONALIA

Penanggung jawab           : Dekan Fisip Universitas Siliwangi
                                             Pembantu Dekan
                                             Ketua Program Studi Ilmu Politik
Ø  Ketua Laboratorium          : Subhan Agung
Ø  Sekretaris                           : Taufik Nurohman
Ø  Ketua Divisi Kajian Metodologi Ilmu Politik           : Akhmad Satori, M.Si
Anggota Divisi        : Subhan Agung, Wiwi Widiastuti
Ø  Ketua Divisi Politik Lokal dan Kebijakan Publik : Edi Kusmayadi, M.Si
Anggota Divisi        : Fitriyani Yuliawati, M. Jafar
Ø  Ketua Divisi Life Politics dan Marketing Politik : Ali Andreas, SIP
Anggota Divisi        : Hendra Gunawan, Rino Sundawa

H. PENUTUP
Demikianlah konsep dan usulan rencana strategis pembentukan laboratorium Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Semoga yang menjadi harapan kita semua tercapai. Amin.


[1]Ilmuwan-ilmuwan yang dengan keras mengkritik modernisme justru muncul di negara-negara industri maju pemuja pasar bebas semisal Adorno, Heiddiger, Foucault, Pierce Bourdieu, Baudlillard, Derrida, Fukuyama, Sartre, Freud, dan lainnya. Merekalah yang melahirkan istilah post-strukturalis dan post-modernisme sebagai tandingan dari zaman modern.
[2] Lebih jelasnya lihat dalam  India : Bangkitnya Raksasa Baru Asia, ed. Irwan Suhada, Penerbit Kompas, Jakarta, tahun 2007
[3] Lihat dalam  M.Amin Abdullah, Aspek Epistemologis Filsafat : Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis dan Prosfektif, LESFI, Yogyakarta, tahun 1992.
[4] AAGN Ari Dwipayana dan Miftah Adi Ikhsanto dalam Modul Teori Politik, Pascasarjana Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM, Yogyakarta. Tahun 2009.
[5] Lihat Gabriel Almound dan Sidney Verba, The Civic Culture, Routledge, tahun 1963.
[6] Outlined  by Anthony Giddens, Professor of Sociology in a book The Constitution of Society: Outline of a Theory of Structuration (1984).
[7] dalam AS Hikam, Negara dan Masyarakat Sipil (1996:1).
[8] Lihat dalam Clymer Rodee, dkk, Introduction to political science, Routliedge, 1980.
[9] Modul Kajian Politik Indonesia,  Deliar Noer, Rajawali, Jakarta, tahun 1995.
[10] Dalam Filsafat Sejarah, George Wilhelm Friedrick Hegel,  Gramedia Pustaka Utama, tahun 1998, edisi revisi.
[11] Istilah ini dalam term kajian budaya politik diperkenalkan oleh Pierce Bourdieu dalam karya fenomenalnya Distinction(1987), Palgrave, NY.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang di Situs Labpol Universitas Siliwangi

Foto saya
Tasikmalaya, Jawa Barat, Indonesia
Merupakan salah satu lembaga pengkajian dan pengembangan di bidang Ilmu Politik di lingkungan FISIP Unsil. Situs ini merupakan situs resmi Labpol Unsil. Selamat membaca, semoga bermanfaat. Amin.
 
Support : Unsil | FISIP Unsil | Jurnal Unsil
Copyright © 2013. Situs Resmi Labpol FISIP Universitas Siliwangi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger