Home » » Batas-Batas Pluralisme

Batas-Batas Pluralisme

Written By Laboratorium Ilmu Politik Unsil on Selasa, 26 April 2011 | 11:09 AM

Oleh: Rino Sundawa Putra


Film “?” (Tanda Tanya) yang dibuat oleh Hanung Bramantiyo memang pantas menjadi kontroversi. Film yang mengusung tema pluralisme ini menjadi pujian sekaligus cercaan berbagai banyak pihak. Bagi penulis tema pluralisme yang ingin dijadikan sebagai pesan oleh Hanung merupakan keinginan yang sangat konstruktif dalam membangun tatanan sosial bangsa yang multi etnis dan multi agama. Tujuan mulia film “?” (Tanda Tanya) ini memang perlu diapresiasi sebagai salah upaya meredam konflik-konflik yang berbau suku, agama dan ras yang memang kerap terjadi di Indonesia, sekaligus juga memberi pesan dan pemahaman bahwa bangsa ini dibangun bukan berdasarkan suku, agama dan ras tertentu tapi dibangun berdasarkan nilai-nilai kebangsaan yang menghargai perbedaan, tidak ada dominasi mayoritas dan minoritas, karena karakter bangsa memiliki pondasi kebhinekaan yang universal.
Akan tetapi, pluralisme dalam konteks ini juga harus memiliki semangat pluralisme yang mengikat dimana mempunyai batas-batas berlakunya. Pluralisme tidak bisa dipaksakan untuk menjamah wilayah-wilayah yang memang mempunyai nilai teritori tertentu yang tidak bisa disama ratakan antara satu dengan yang lainnya. Ruang pluralisme hanya berada dalam wilayah-wilayah sosial, karena tujuan sebenarnya nilai pluralisme adalah memberi pemahaman universal yang bersifat hubungan manusia dengan manusia lainnya yang bersifat vertikal dengan mengusung penghargaan dan sikap toleransi antar sesama, bukan bersifat horizontal antara manusia dengan Tuhan.

Dalam film ini sebetulnya tidak begitu jelas makna pluralisme yang diusungnya, karena pluralisme dalam Film ini tidak menggambarkan batas-batas dimana paham pluralisme ini harus berlaku. Bila pluralisme dalam konteks keberagamaan agama yang ingin diusung, seharusnya ada batas-batas tertertentu yang tidak boleh mencampur adukan antara relasi sosial antara pemeluk agama dengan batasan ketentuan (syariat) yang berlaku dalam agama masing-masing, artinya Tuhannya pemeluk Islam tidak bisa disamakan dengan Tuhannya pemeluk Kristen, begitu juga Tuhannya orang Konghucu tidak bisa disamakan dengan Tuhannya orang Islam atau Kristen walaupun semua Tuhan dari masing-masing agama memiliki nilai kebenaran mutlak menurut pemeluknya masing-masing, tetapi masing-masing pemeluk agama memiliki standarisasi (syariat) tertentu dalam meyakini nilai kebenaran Tuhannya masing-masing. Penulis pikir, tidak semua orang Islam akan sepakat bila menyamakan Tuhannya (Alloh) dengan Tuhannya orang Kristen (Yesus), atau Tuhannya pemeluk Konghucu (Dewa) dengan Tuhannya pemeluk Islam atau Kristen akan dikatakan sebuah nilai pluralisme. Hal inilah yang kemudian memicu protes dan ketidak-setujuan dari beberapa pihak pada film garapan Hanung ini. Wajar saja bila Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa “risih” dengan makna pluralisme yang menjadi pesan dalam film ini. Bahkan dengan lantang FPI menganggap film ini sebagai film pemurtadaan. Pemurtadaan dalam kacamata penulis bukan pemurtadan dimana seorang pemeluk agama pindah menjadi pemeluk agama lain, tapi pemurtadan dalam konteks ini yaitu mengaburkan makna Tuhan menjadi nilai kebenaran yang universal yang sudah tidak lagi dibatasi oleh syariat-syariat dari masing-masing agama yang berlaku. Logikanya, kalau makna keberanaran Tuhan sudah dianggap universal, berati menganggap semua agama yang ada sudah tidak ada lagi, karena sudah tidak dibatasi oleh ketentuan (syariat) masing-masing dalam meyakini Tuhannya masing-masing.

Bagi penulis, kaburnya makna pluralisme keberagamaan agama dalam film ini yang paling menonjol ada pada salah satu bagian film ketika tokoh yang telah pindah keyakinan bernama Rika (diperankan oleh Endhita) menyimpulkan bahwa Tuhan Yesus sebagai Tuhan yang Ar Rahim dan Ar Rahman dalam sebuah pertemuan Gereja, sedangkan dalam konteks syariat, sifat Tuhan yang Ar Rahman dan Ar Rahim hanya diyakini oleh pemeluk agama Islam. Penulis yakin hal ini akan menimbulkan kekecewaan umat Islam dan Kristen, akhirnya pesan pluralimse yang ingin disampaikan malah menjadi pesan yang membenturkan. Dalam adegan ini jelas sekali, Hanung sebagai Sutradara tidak bisa membatasi nilai pluralisme yang dimaksud karena menganggap semua Tuhan dan agama memiliki kebenaran yang universal. Kalau semua agama dan Tuhan memiliki nilai kebenaran yang universal berati sudah tidak ada lagi makna pluralisme karena semua agama dan Tuhan benar dan tidak ada bedanya dari sisi keyakinan, padahal makna pluralisme yang subtansial adalah bagaimana membangun pemahaman pluralisme yang memiliki nilai toleransi untuk mau menghargai perbedaan yang timbul akibat keyakinan dari agama yang berbeda dalam konteks atau ranah sosial yang sifatnya horizontal (hubungan manusia dengan manusia) bukan dalam ranah yang sifatnya vertikal (manusia dengan Tuhan).

Pluralisme Versi Rasululloh

Jauh sebelum konsep pluralisme modern bergema, sebelumnya Nabi Muhammad SAW telah mempraktekan nilai pluralisme yang hakiki pada saat membangun peradaban di Madinah. Pada masa itu bagaimana penghargaan Rasullulloh kepada umat-umat diluar Islam (Yahudi dan kaum Majusi) dalam konteks relasi sosial, karena umat-umat tersebut sebagai salah satu kelompok masyarakat Madinah yang secara sosial, sebagai pemimpin di Madinah Nabi mutlak harus melindungi rakyatnya apapun agama atau kepercayaannya. Praktek inilah yang oleh beberapa Ilmuan politik barat dianggap sebagai salah satu awal atau embrio lahirnya proses demokrasi dalam Islam.

Walaupun Nabi dan umatnya sangat menghargai makna perbedaan dimana mau melindungi dan mengakomodir umat diluar umatnya, beliau tidak pernah kompromi ketika menyangkut masalah akidah dan syariat, artinya ada batasan-batasan tertentu ketika Rasullulloh mempraktekan nilai pluralisme, mana perbedaan yang bersifat sosial (simbol dan atribut), mana perbedaan yang bersifat teologis (akidah, keyakinan dan syariat) dimana tidak semua ranah dapat dikategorikan sebagai nilai yang bersifat universal. “Agamaku adalah agamaku dan agamamu adalah agamamu” adalah sebuah prinsip kuat yang dipegang Rasululloh dan para sahabat-sahabatnya ketika berinteraksi dengan kaum non muslim kala itu. Kalau dikaji secara seksama, makna dalam kalimat “Agamaku adalah agamaku dan agamamu adalah Agamamu” mengandung banyak sekali definisi dan makna pluralisme yang sesungguhnya, karena disinilah terjadi pemisahan dan pengertian tentang pluralisme yang membedakan antara hal-hal yang bersifat kepekaan sosial (toleransi) dan hal-hal yang bersifat privat (keyakinan) yang dilindungi oleh hak azasi setiap manusia, dan sama sekali tidak mengandung unsur paksaan agar kalangan non muslim menjadi muslim. Itulah penghargaan terhadap pluralisme dan toleransi antar pemeluk agama yang sebenarnya, yang berabad-abad sebelumnya telah dipraktekan oleh Nabi Muhammad SAW.

Dimuat pada kolom Wacana Harian Radar Tasikmalaya edisi Senin 25 April 2011


Penulis adalah Dosen dan Ketua Penerbitan Jurnal Politik dan Pemerintahan Fisip-Unsil
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang di Situs Labpol Universitas Siliwangi

Foto saya
Tasikmalaya, Jawa Barat, Indonesia
Merupakan salah satu lembaga pengkajian dan pengembangan di bidang Ilmu Politik di lingkungan FISIP Unsil. Situs ini merupakan situs resmi Labpol Unsil. Selamat membaca, semoga bermanfaat. Amin.
 
Support : Unsil | FISIP Unsil | Jurnal Unsil
Copyright © 2013. Situs Resmi Labpol FISIP Universitas Siliwangi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger